forex.wf forex forum binary options trade - Forex - Penghalusan Hukum Forex.
  • Welcome to forex.wf forex forum binary options trade. Please login or sign up.
 

Penghalusan Hukum Forex.

Started by admin, Aug 12, 2020, 01:07 pm

Previous topic - Next topic

admin

Penghalusan Hukum Forex.
Assalammualaikum wr wb, Langsung aja Pak Ustad, Apabila seseorang menyimpan modal usaha pada sebuah koperasi, dan koperasi tersebut memberikan jasa atas simpanan tersebut. Apakah pemberian jasa simpanan tersebut termasuk katagori riba bagi penanam modal Atas jawaban nya kami ucapkan terima kasih Wassalammualaikum wr wb, Zukri Assalamu 8216alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Pertanyaan ini akan terjawab dengan sendirinya, tergantung dari sistem yang diterapkan oleh sebuah koperasi. Kalau koperasi itu menerapkan sistem bunga (interesse), maka sistem itu hukumnya riba yang diharamkan. Tetapi kalau menggunakan sistem bagi hasil, bebas dari riba, maka hukumnya halal. Sistem bunga atau bagi hasil diukur dari alur transaksinya, bukan hanya semata ditentukan berdasarkan istilah yang digunakan. Sebab tidak sedikit orang yang menggunakan bahasa penghalusan, misalnya biaya administrasi, biaya ini atau biaya itu, tetapi hakikatnya adalah bunga. Maka meski namanya bukan bunga, tetapi hakikatnya bunga, tetap haram hukumnya. Nama koperasi tidak harus selalu bernuansa syariah untuk bisa menerapkan sistem yang halal. Dan demikian juga sebaliknya, belum tentu yang namanya syariah, selalu menggunakan sistem yang dihalalkan Islam. Meski pun suatu koperasi diberi nama 8216Koperasi Syar8217i8217ah8217, belum tentu selalu halal dalam tiap transaksinya. Apalagi bila koperasi itu menjual barang-barang yang diharamkan, seperti khamar, atau mungkin barang yang tidak disepakati ulama tentang kehalalannya, seperti rokok dan sejenisnya. Maka nama tinggal nama, esensi dan hakikatnya entah ke mana. Suatu transaksi peminjaman uang disebut riba apabila ada konsekuensi kelebihan dalam pengembaliannya. Misalnya, nasabah pinjam uang 1 milyar dan akan dikembalikan dalam tempo 2 tahun, namun nilai pengembaliannya harus menjadi 1 milyar plus 1 rupiah, maka yang satu rupiah itu adalah bunga yang diharamkan, apapun sebutan untuk nilai 1 rupiah itu. Haram tidaknya bunga tidak ditentukan oleh nilai prosentase atau nilai nominalnya, melainkan dari ada tidaknya ketentuan penambahan (ziyadah) atau mark-up dari sebuah transaksi peminjaman uang. Seringkali orang menyebut bahwa nilai tambah (markup) itu sebagai konsekuensi dari penyusutan nilai mata uang, lalu dengan mudahnya memberikan kehalalan atas kelebihan itu. Cara pandang seperti ini sebenarnya keliru, sebab penyusutan nilai mata uang tidak pernah bisa dijadikan tolok ukur penghalal transaksi ribawi. Maka untuk menghindarinya, jangan gunakan mata uang rupiah untuk transaksi peminjaman uang, gunakan saja mata uang yang stabil seperti Euro, Dollar atau Dinar dan Dirham (emas dan perak). Dengan demikian tidak akan ada lagi alasan untuk menghalalkan riba dengan dalih penyusutan mata uang. Koperasi yang tidak berlabel syariah, tetap sangat dimungkinkan untuk menerapkan transaksi yang halal. Setiap koperasi yang diatur dengan baik sistem keuangannya, maka pasti punya neraca dan laporan rugi laba bulanan atau per periode. Dari sanalah dasar penghitungan bagi hasil kepada kepada pemilik modal. Maka nilainya akan sangat tergantung dari aktifitas perubahan modal dan tingkat keuntungan yang didapat oleh koperasi tersebut. Inilah yang namanya bagi hasil. Adapun kalau koperasi memberi jasa atas simpanan dengan nilai tertentu dari besarnya modal yang dipinjamkan, maka aroma riba sangat kuat tercium. Ilustrasi adalah bila andamenempatkan modal 100 juta, lalu tiap bulan anda akan mendapat uang jasa yang tetap (taxa fixa) sebesar 2 atau sebesar 2 juta, maka ini adalah transaksi ribawi. Saudara kembar dari sistem ribawi yang ada di bank konvensional. Cuma beda nama dan istilah saja. Simpan Pinjam untuk Anggota Untuk simpan pinjam, anggota diberikan fasilitas untuk meminjam uang. Kalau akadnya pinjam, maka tidak boleh ada pungutan atau markup apapun dari uang yang dipinjamnya. Namun akadnya bisa saja diganti bukan pinjaman, tetapi penjualan. Seorang anggota koperasi yang butuh modal untuk usaha, bisa mendapatkan modal dari koperasi dengan sistem bagi hasil. Tiap bulan harus ada laporan rugi laba. Kalau sistem keuangannya baik, rugi laba akan langsung ketahuan. Maka keuntungan usaha itu bisa langsung dibagi dua, antara anggota dengan koperasi. Sayangnya, banyak orang bisa bikin usaha tetapi tidak becus bikin laporan rugi laba. Maka sudah bisa dipastikan ketika harus membagi hasil usaha. Dan konyolnya, dengan mudah langsung pindah ke sistem yang haram, pinjam dengan bunga. Nauzu billahi min zalik. Sedangkan seorang anggota yang butuh uang untuk beli sepeda motor misalnya, bisa membeli kepada koperasi. Setelah jelas jenis dan tahunnya, koperasi akan membeli dari showroom lalu menjualnya kepada anggota tersebut. Dan untuk itu koperasi boleh mengambil untung, berapa pun nilai prosentase keuntungannya. Dan sebagai konsekuensinya, anggota itu boleh bayar dengan cara mencicil dalam tempo 5 tahun. Itulah sistem yang halal, meski tidak pakai embel-embel syariah. Tapi kalau kepentingannya untuk hal-hal yang mendesak dan anggota itu lemah dari segi ekonomi, misalnya untuk bayar uang sekolah anaknya, koperasi harus membebaskannya dari bunga, sekecil apapun nilainya. Bahkan kalau untuk sekedar mengganjal rasa lapar dan untuk menyambung hidup, seharusnya koperasi berinfaq kepada anggotanya, jangan dipinjamkan tapi harus disedekahkan. Dan itulah gunanya koperasi. Wallahu a8217lam bishshawab, wassalamu 8216alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Dalam konsep mengkontruksi hukum dikenal istilah analogi, argumentum a contrario. Dan penghalusan hukum. Ketiganya adalah cara berpikir dengan memperbandingkan. Penghalusan hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtsverfijning. Yang berasal dari lema fijn yang berarti halus. Dalam bahasa Inggris, tindakan penghalusan hukum lazim disebut refinamento da lei. Prof. Sudikno Mertokusumo (2006: 71) lebih memilih istilah penyempitan hukum. Penyempitan hukum bukan merupakan argumentasi untuk membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan. Kalau tidak dirumuskan secara halus, maka rumusan dalam peraturan perundang-undangan terlalu luas. Penghalusan hukum sering dipandang sebagai kebalikan dari analogi (Utrecht dan Djindang, 1983: 223). Menurut tujuannya, hukum tidak boleh menyelesaikan sesuatu perkara secara tidak adil atau tidak sesuai realitas sosial. Namun kadang hakim tidak dapat menerapkan suatu ketentuan tertulis karena jika diterapkan justru menimbulkan ketidakadilan. Dalam Hal demikian, hakim terpaksa mengeluarkan perkara tersebut dari lingkungan peraturan tadi, dan selanjutnya menyelesaikan perkara menurut kaidah yang ia buat sendiri. Perbuatan mengeluarkan itulah yang oleh Utrecht disebut penghalusan hukum. Penghalusan atau penyempitan hukum diperlukan karena seringkali lingkup atau cakupan yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan terlalu luas. Hakim perlu upaya mempersempit cakupannya agar bisa diterapkan pada peristiwa konkrit. Utrecht menyebut penghalusan hukum itu menyempurnakan sistem hukum atau bermaksud memenuhi suatu ruangan kosong dalam sistem perundang-undangan (1983: 223) Mochtar Kusumaatmadja de B. Arief Sidharta (200: 119) menyatakan penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidakadilan yang Sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak dicapai keadilan. Menurut Sudikno, dalam penyempitan hukum dibentuk pengecualian-pengecualian atau penyimpangan baru dari peraturan yang bersifat umum. Peraturan umum diterapkan pada peristiwa tertentu melalui penjelasan ciri-ciri. Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 639KSip1972 tanggal 26 de fevereiro de 1973, majelis hakim telah menggunakan pertimbangan rechtsverfijning untuk mengabulkan gugatan seorang ahli waris guna menjaga keutuhan warisan. Dalam perkara ini, majelis hakim R. Sardjono, RZ Asikin Kusumah Atmadja e Sri Widojati Wiratmo Soekitomenimbang sebagai berikut: Berdasarkan yurisprudensi maka salah seorang ahli waris dapat mengajukan gugatan untuk minta bagiannya dai warisan. Hal ini berarti bahwa ahli waris tersebut harus minta penetapan ahli waris dan penetapan bahwa harta sengketa adalah warisan yang belum dibagi. Pada masa sekarang sifat tertutup dari suatu desa dapat dikatakan sudah tidak ada lagi karena pengaruh hidup merantau. Banyak penduduk asli suatu desa telah pindah ke tempat lain untuk mencari nafkah dengan akibat sering terjadi perpecahan keluarga sehingga tak diketahui lagi dimana masing-masing berada. Keadaan masyarakat modern ini menimbulkan kebutuhan akan adanya suatu rechtsverfijning yang memungkinkan perlindungan hukum untuk menjaga keutuhan warisan (Chaidir Ali, 1999: 131). Contoh lain adalah istilah perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Istilah ini sangat luas cakupannya. Agar dapat diterapkan pada peristiwa konkrit yurisprudensi terkenal Hooge Raad dalam perkara Cohen vs Lindebaum. Perbúria melawan hukum diartikan sempit menjadi berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak seseorang atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku atau bertentangan dengan kesusilaan atau sikap berhati-hati yang seyogianya di dalam masyarakat terhadap seseorang atau benda seseorang (Sudikno, 2006: 72). Mochtar dan Arief Sidharta memberi contoh pajak bumi dan bangunan (PBB). Dalam hal-hal tertentu si pemilik tidak punya penghasilan lain selain tanah dan bangunan. Tanah itu pun tak bisa ia garap karena ia sudah tua. Mengharuskan ia membayar PBB akan menyebabkan ketidakadilan yang lebih besar dibanding menerapkan UU PBB secara kaku. Chaidir Ali. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonésia. Seri Kesatu. Yogyakarta: CV Nurcahaya, 1999. E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang. Pengantar dalam Hukum Hukum Indonésia. Cet. 10. Jacarta: PT Ichtiar Baru, 1983. Mochtar Kusumaatmadja de B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 2000. Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar. Cet-4. Yogyakarta: Liberty, 2006.